Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Ujian Akhir
Semester Mata
Kuliah Filsafat Hukum
Dosen :
Dr. AHMAD HUNAENI ZULKARNAEN, SH, MH
Disusun oleh :
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
2014
A. Pendahuluan.
Filsafat Hukum mempelajari persoalan-persoalan filosofis
yang muncul dari eksistensi dan praktik hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum
tidak memiliki inti persoalan filosofis yang utama yang khas bagi dirinya
sendiri seperti dimiliki cabang-cabang filsafat lain.[1] Tidak
dapat disangkal bahwa ada konflik-konflik dari norma-norma yang sejati, yakni
situasi-situasi yang didalamnya terdapat dua norma yang valid, di mana salah
satu menetapkan sebagai obligator (kewajiban) seperangkat tingkah laku
tertentu, sedangkan yang lainnya menetapkan seperangkat tingkah laku tertentu,
sedangkan yang lainnya menerapkan seperangkat tingkahlaku yang inkompatibel dengan yang disebut
pertama. Konflik-konflik antara norma-norma dari suatu moralitas dan norma-norma
dari sistem hukum sudah cukup dikenal oleh semua orang. Misalnya, sebuah norma
sosial memerintahkan kita untuk tidak membunuh. Sebuah norma hukum
memerintahkan kita untuk membunuh orang untuk melaksanakan eksekusi hukuman
mati, dan musuh dalam perang. Siapapun yang menaati salah satu dari norma-norma
itu, melanggar norma yang lainnya. Ia mempunyai pilihan untuk mengikuti
(menaati) yang mana dari keduanya itu. Karena itu, akan melanggar yang mana,
tetapi ia tidak mempunyai kekuasaan (power) untuk mengabrogasi (membatalkan)
keabsahan dari norma yang dipilihnya untuk tidak ditaati. Bahkan, dalam satu
sistem hukum yang sama, lebih-lebih, konflik-konflik dari norma-norma adalah
mungkin akan tidak jarang: konflik-konflik antara norma-norma dari tingkat
lebih tinggi dan tingkat lebih rendah, seperti misalnya antara sebuah
konstitusi yang melarang semua pembatasan bagi kebebasan agama, dan sebuah
undang-undang yang melarang ibadah secara
terbuka dari suatu agama tertentu, yakni kasus yang
dinamakan undang-undang yang “inkonstitusional”; konflik-konflik antara
norma-norma yang setingkat. Seperti misalnya antara undang-undang yang
menetapkan bahwa suatu tindakan tertentu, misalnya zinah harus dihukum, dan
sebuah undang-undang yang lain yang menetapkan bahwa perbuatan itu tidak perlu
dihukum. Bahkan, dapat menjadi konflik-konflik antara norma-norma dari satu
undang-undang yang sama. Norma yang berkonflik itu dua-duanya adalah sah,
sedemikian rupa sehingga jika yang satu ditaati, maka yang lain harus (mau
tidak mau, dengan sendirinya) dilanggar; dan ia hanya dapat di langgar jika ia,
juga, tetap sah.[2])
B.
Hakikat Moralitas.
Jika moral diartikan sebagai (sesuatu) yang menyangkut mengenai baik-buruknya
manusia sebagai manusia, maka moralitas adalah keseluruhan norma, nilai, dan
sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat.[3]
Jadi moralitas adalah kompleksitas moral dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial.[4]
Unsur-unsur Moralitas akan menghasilkan kualitas norma moral, semakin baik
kualitas moral yang bersangkutan terhadap unsur-unsur moralitas sebagai
berikut:
1.
Kebebasan
Kebebasan manusia
ini dapat dibedakan dalam dua golongan besar, yaitu:
a. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang diterima dari orang lain (sesama
manusia), yang berarti bersifat heteronom, kebebasan sosial dapat dibatasi oleh
tiga jenis, yaitu:
1)
Keterbatasan fisik,
2)
Keterbatasan psikis, dan
3)
Adanya perintah/larangan (normatif).
b.
Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk sikap dan perilaku
dirinya sendiri yang bersifat otonom.[5]
2.
Tanggung jawab.
3.
Suara Hati.
C.
Pemisahan Hukum Dan Moral.
Pemisahan hukum dan moral memiliki karakter yang sangat berbeda-tidak
begitu ketat secara rasional karena bukan didukung penalaran yang mendetail,
melainkan lebih banyak bersandar pada kenangan terhadap pengalaman traumatis.
Karena kritikan ini berisi kesaksian orang-orang yang jatuh ke neraka dan,
seperti Ulyses atau Dante, kembali lagi ke bumi untuk
membawa pesan baagi umat manusia. Hanya dalam kasus inilah neraka tidak lagi
berada di bawah atau di luar bumi, melainkan di atasnya – neraka adalah apa
yang diciptakan manusia bagi sesamanya.
Pandangan seperti ini datang dari para pemikir Jerman yang hidup selama
rezim Nazi, merefleksikan manifestasi-manifestasi kejahatan di dalam sistem
legal. Salah satu pemikirnya, Gustav
Radbruch, memang doktrin kaum Positivis sebelum tirani Nazi berkuasa, tapi
kemudian dia berubah oleh pengalaman ini dan mulai merasa pedih melihat kaum
Positivis berusaha memisahkan hukum dari moral. Yang penting dari kritik ini
adalah dia sungguh-sungguh berkonfrontasi dengan titik dimana Bentham dan Austin sangat ingin memisahkan hukum-sebagaimana-adanya dari
hukum-sebagaimana-mestinya. Para pemikir Jerman ini mendesakkan kebutuhan untuk
menyatukan apa yang dipisahkan kaum Utilitarian justru di tempat-tempat paling
krusial di mata para Utilitarian kebenaran hukum-hukum yang secara moral memang
jahat.
Sebelum perubahan ini, Radbruch
yakin bahwa resistensi terhadap hukum merupakan persoalan yang terkait dengan
suara hati personal, dianggap sebagai masalah moral individual. Karena itu,
validitas hukum tidak bisa dibantah hanya dengan menunjukkan bahwa
persyaratannya jahat secara moral, atau dengan menunjukkan bahwa efek dari
ketidaksepakatan terhadap hukum akan lebih jahat daripada efek dari
ketidak-patuhan. Austin bisa
dikatakan merasakan empati kepada mereka yang menuduh bahwa jika hukum manusia
akhirnya berkonflik dengan prinsip-prinsip fundamental moralitas, maka hukum
berhenti menjadi hukum dan merosot menjadi “omong kosong”.[6]
Hukum-hukum yang paling kejam, dan karenanya paling bertentangan dengan
kehendak Tuhan, telah dan secara terus-menerus memperkuat diri sebagai hukum
lewat peradilan-peradilan Yudisial. Katakanlah sebuah tindakan yang tidak
keliru, atau secara positif bermanfaat, dilarang oleh sebuah kedaulatan dibawah
ancaman hukuman mati. Jika melakukan tindakan ini maka saya akan diadili dan
didakwa, namun jika keberatan dengan dakwaan itu yang memang bertentangan
dengan hukum Tuhan...maka lembaga keadilan akan membuktikan ketidak-sahihan
penalaran saya dengan menghukum mati saya, berdasarkan hukum yang saya ragukan
validitasnya. Sebuah pengecualian, sanggahan atau permintaan ampun, yang
dibangun diatas hukum Tuhan tidak pernah didengarkan oleh Lembaga Peradilan,
sejak penciptaan dunia sampai sekarang.[7]
Ini adalah pernyataan yang sangat keras dan brutal, namun kita harus ingat
bahwa kata-kata itu sudah lama berlaku-dalam kasus Austin, apalagi Bentham dengan
keyakinan bahwa jika hukum mencapai derajat ketidak-adilan tertentu maka akan
terdapat kewajiban moral yang menentangnya dan memaksakan sebuah kepatuhan,
kita akan melihat, waktu mempertimbangkan alternatif, bahwa pengkajian
sederhana dilema manusia ini bisa memunculkan banyak pemikiran.
Namun Radbruch justru
menyimpulkan dari titik ini saja, dimana rezim Nazi telah mengeksploitasi
kepatuhan masyarakat kepada hukum semata-atau dalam slogan kaum “Positivis”: “hukum
adalah hukum” (Gesetz als Gesetz)- dan dari kegagalan profesi hukum Jerman
memprotes kejahatan yang dilakukan dalam nama hukum, bahwa “positivisme” (yang
dimaknai pemisahan hukum sebagaimana-adanya dari sebagaimana-mestinya)
memberikan kontribusi besar bagi penggunaan teror. Refleksi-refleksi ini
membawanya kepada doktrin bahwa prinsip-prinsip fundamental moralitas
kemanusiaan adalah bagian inti dari konsep Recht atau legalitas, sehingga tidak
ada tindakan positif atau undang-undang bagaimanapun jelasnya diekspresikan dan
bagaimanapun jelasnya bersesuaian dengan kreteria formal validitas sistem legal
yang ada bisa menjadi valid jika menentang prinsip-prinsip dasar moralitas.
Doktrin Radbruch ini sendiri baru
bisa dipahami sepenuhnya hanya jika nuansa kata Jerman Recht kita pahami. Tapi
yang jelas doktrin ini memaksudkan setiap advokat dan hakim boleh menerbitkan
undang-undang untuk menggerus prinsip-prinsip fundamental yang bukan hanya
immorial atau keliru, namun juga yang tidak memiliki karakter legal, dan
menindak lanjuti kualitas hukum untuk menjadi legal berdasarkan kebutuhan
individual manapun dalam kondisi-kondisi tertentu. Perubahan total dari doktrin
awal ini sayangnya hanya kita peroleh dari penerjemahan tulisan-tulisannya,
tapi buku-buku inipun sudah layak untuk dibaca setiap orang yang ingin melihat
alternatif berbeda mengenai keterkaitan hukum dan moral.[8]
D.
Moralitas Dalam Hukum.
Lawrence M. Friedman menyebutkan tiga unsur dari sistem hukum itu, yaitu:
1.
Struktur,
2.
Substansi, dan
3.
Budaya Hukum.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa
Putra membedakan unsur-unsur dari sistem hukum itu lebih banyak lagi,
yakni:
1.
Masyarakat Hukum,
2.
Budaya Hukum,
3.
Filsafat Hukum,
4.
Pendidikan Hukum (Ilmu Hukum),
5.
Konsep Hukum,
6.
Pembentukan Hukum,
7.
Bentuk Hukum,
8.
Penerapan Hukum,
9.
Evaluasi Hukum.[9]
Moral adalah hasil penilaian tentang baik buruk manusia sebagai manusia.
Pengertian manusia disini baik secara pribadi (individu) maupun secara kelompok
(masyarakat). Penilaian di sini berarti suatu tindakan memberi nilai atau
meletakkan suatu kualitas tertentu terhadap seseorang atau masyarakat. Sebagai
suatu kompleks dari nilai-nilai (sistem nilai) atau kumpulan moral, moralitas
pada diri seseorang atau suatu masyarakat digunakan dalam dua hal, yakni:
1. Sebagai standart normatif evaluasi (normative
standards of evaluation), dan
2.
Aturan normatif perilaku (normative
rules of conduct).[10]
Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan seorang
individu atau sekelompok masyarakat dalam dua hal tersebut. Norma hukum dapat
digunakan untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk
mengukur sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan. Artinya, walaupun
norma hukum lebih menuntut ketaatan fisik, bukan batin, tetap saja norma hukum
membutuhkan sikap-sikap yang kondusif agar seseorang atau sekelompok masyarakat
dapat berprilaku sesuai dengan hukum.[11]
Setiap norma hukum seharusnya mempunyai misi atau amanat moralitas yang
ingin dicapai melalui norma itu. Di sini berarti kita sampai pada persoalan
tujuan hukum. Berbicara tentang tujuan hukum berarti berbicara mengenai nilai-nilai
dasar hukum. Seperti dinyatakan oleh Radbruch,
bahwa suatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi, hukum dibuat pun
ada tujuannya. Yujuan ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan
hukum yang utama ada tiga, yaitu:
1.
Keadilan,
2.
Kepastian, dan
3.
Kemanfaatan.[12]
E.
Consilience Hukum Dan Moral (Etika Dan Agama).
Sesuatu yang senantiasa dipahami secara tidak memadai tentang hubungan itu.
Penjelasan melalui consilience ini
berbeda dengan penjelasan tentang hukum dan moral sebelumnya. Mungkinkah hukum
dan moral dipertentangkan atau dipisahkan, sangat mungkin, bahkan perdebatan
ini telah menjadi titik sentral antara pemikir hukum alam dengan kaum
positivisme hukum, sebagai bentuk penolakan terhadap konsep-konsep penting dari
pemikiran hukum alam. Untuk lebih memahami hubungan hukum dan moral (umumnya
banyak ditemukan dalam beberapa buku filsafat hukum tingkat awal) paling tidak
ada tiga kemungkinan yang dapat dijelaskan.[13]
Pertama, ada pandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan
satu sama lain, sebab hukum dan moral memerintahkan muatan aktual hukum buatan
manusia (hukum positif). Hubungan antara moralitas dan hukum sangat kuat, sebab
ada asumsi bahwa apa yang ditetapkan oleh hukum positif di dalam
aturan-aturannya sebenarnya tidak lain adalah manifestasi moralitas atau
asas-asas moral itu sendiri. Untuk itu, ada dua alternatif yang tidak
mengandung moralitas dianggap sebagai hukum yang tidak adil.
Kedua, hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab
masing-masing memiliki wilayah keberlakuan sendiri, meskipun sebagai hukum yang
lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuan hukum positif, bila
hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin
adalah kaidah yang lain yaitu hukum moral atau kaidah kesusilaan. Hukum positif
menyelenggarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarakat,
hukum moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut. Hukum
positif bekerja secara dipaksakan dan secara lahiriah, hukum moral berlaku atas
dasar kesadaran diri manusia.
Ketiga, hukum dan moralitas masing-masing memiliki otonom ruang lingkup
yang eksklusif. Hal ini berarti validitas sebuah aturan hukum pertama-tama
bergantung pada kreteria hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu-satunya
kreteria validitas sebuah hukum adalah pengundangannya yang formal. Validitas
moral juga ditentukan oleh penerapan kreteria yang cocok dengan sistem
moralitas yang ada. Para pendukung gagasan ini biasanya memandang hukum moral
secara pragmatis dan mendasarkan pandangannya tersebut pada beberapa asas
seperti misalnya: asas manfaat, tradisi, dan kebiasaan masyarakat. Menurut Antonio Boggiano, kaum positivis hukum
berusaha sedapat mungkin menghindari pembahasan tentang hukum moral (1987 : 3).[14]
Penalaran moral di masyarakat modern dan masyarakat tradisional
masing-masing memiliki perbedaan, sehingga tidak mengherankan persoalan ini
menjadi topik pertikaian yang paling terbuka dan sangat problematik. Oleh
karena itu, pada masa-masa mendatang dalam upaya consilience hukum dan moral ini perlu diperhatikan paling sedikit
beberapa topik sebagai berikut: pertama, penegasan kembali tentang
pendefinisian sentimen-sentimen moral; kedua, proses-proses psikologis dan
fisiologis menyangkut perilaku etika; ketiga, perkembangan sentimen-sentimen
moral, sebagai produk dari interaksi manusia dengan lingkungan, hal ini akan
berkaitan dengan sejarah sistem etika, kemunculan berbagai jenis budaya,
perkembangan kognitif individu yang tinggal dalam berbagai jenis budaya.
Melalui rangkaian topik-topik sebagaaimana di atas, maka paling tidak dapat
ditemukan sarana-sarana yang paling efektif untuk mencapai konsensus, sehingga
consilience hukum dan moral menjadi lebih mungkin untuk dipertimbangkan.[15]
F.
Penutup
Sejarah filsafat hukum, orang berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah
hukum kodrat (filsafat hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu
kodrat ideal yang abadi, yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini
memunculkan pertanyaan tentang keterikatan denfan tempat dan waktu, orang akan
memegang suatu prinsip hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa
yang akan datang) apakah hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak
bersepakat bahwa hukum akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan
tempat, dengan cara berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi
dalam masyarakat luas.
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi
dan fungsi hukum yang diciptakan. Indonesia memang menganut paham kedaulatan
rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di
Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah
lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki.
Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di
Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut
dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita harus tahu pula bahwa
fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan
hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu
mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan
adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan
untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor
nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang
terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat
luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.[16]
[1] R.M. Dworkin (sus) Yudi Susanto (ter), Filsafat Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Merkid Press, 2013. hlm. 1.
[2] B. Arief Sidharta, Hukum Dan Logika,
P.T Alumni, Bandung, 2011, hlm. 39-40.
[3] Henry Adams, The Education of Henry Adams, vol. II
(New York: Time Inc.Book Division, 1964), Bab XXII.
[4] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 43.
[5] John Stuart
Miil, On Liberty: Perihal Kebebasan,
Ed. 2, terjemahan Alex lanur, Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 143 et seq.
[6] R.M. Dworkin
(sus) Yudi Susanto (ter), Op.Cit.
hlm. 46-47.
[7] Austin, The Province Of Jurisprudence Determined
(Library of Ideas, 1954) hlm. 185.
[8] Lihat Radbruch, Gesetzliches Unrecht und Ubergesetzliches
Recht, Suddeutsche Juristen Zeitung 105 (Jerman, 1946), dicetak ulang dalam
Radbruch, Rechtphilosophie (edisi keempat, 1950) hlm. 347.
[9] Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 91.
[10] Shidarta, Op.Cit,
hlm. 77.
[11] Loc. Cit, hlm. 77.
[12] Ibid.
Hlm. 79.
[13] Anthon F, Susanto, Hukum Dari Consilience
Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, 2007.
hlm. 67.
[14] Ibid, hlm. 67-68.
[15] Ibid, hlm. 73.
[16] http:
// nuragungsugiarto.blogspot.com / 2012 / 02 / peran – filsafat - hukum – dalam
-pembentukan.html., di unduh pada tanggal 3 Januari 2014.
No comments:
Post a Comment