Tuesday, 26 August 2014

MAKALAH FILSAFAT HUKUM - HUKUM DAN MORAL DALAM PERDEBATAN FILSAFAT HUKUM


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Hukum

Dosen :

Dr. AHMAD HUNAENI ZULKARNAEN, SH, MH

Disusun oleh :



PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
2014

A.      Pendahuluan.
Filsafat Hukum mempelajari persoalan-persoalan filosofis yang muncul dari eksistensi dan praktik hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum tidak memiliki inti persoalan filosofis yang utama yang khas bagi dirinya sendiri seperti dimiliki cabang-cabang filsafat lain.[1] Tidak dapat disangkal bahwa ada konflik-konflik dari norma-norma yang sejati, yakni situasi-situasi yang didalamnya terdapat dua norma yang valid, di mana salah satu menetapkan sebagai obligator (kewajiban) seperangkat tingkah laku tertentu, sedangkan yang lainnya menetapkan seperangkat tingkah laku tertentu, sedangkan yang lainnya menerapkan seperangkat tingkahlaku yang inkompatibel dengan yang disebut pertama. Konflik-konflik antara norma-norma dari suatu moralitas dan norma-norma dari sistem hukum sudah cukup dikenal oleh semua orang. Misalnya, sebuah norma sosial memerintahkan kita untuk tidak membunuh. Sebuah norma hukum memerintahkan kita untuk membunuh orang untuk melaksanakan eksekusi hukuman mati, dan musuh dalam perang. Siapapun yang menaati salah satu dari norma-norma itu, melanggar norma yang lainnya. Ia mempunyai pilihan untuk mengikuti (menaati) yang mana dari keduanya itu. Karena itu, akan melanggar yang mana, tetapi ia tidak mempunyai kekuasaan (power) untuk mengabrogasi (membatalkan) keabsahan dari norma yang dipilihnya untuk tidak ditaati. Bahkan, dalam satu sistem hukum yang sama, lebih-lebih, konflik-konflik dari norma-norma adalah mungkin akan tidak jarang: konflik-konflik antara norma-norma dari tingkat lebih tinggi dan tingkat lebih rendah, seperti misalnya antara sebuah konstitusi yang melarang semua pembatasan bagi kebebasan agama, dan sebuah undang-undang yang melarang ibadah secara
terbuka dari suatu agama tertentu, yakni kasus yang dinamakan undang-undang yang “inkonstitusional”; konflik-konflik antara norma-norma yang setingkat. Seperti misalnya antara undang-undang yang menetapkan bahwa suatu tindakan tertentu, misalnya zinah harus dihukum, dan sebuah undang-undang yang lain yang menetapkan bahwa perbuatan itu tidak perlu dihukum. Bahkan, dapat menjadi konflik-konflik antara norma-norma dari satu undang-undang yang sama. Norma yang berkonflik itu dua-duanya adalah sah, sedemikian rupa sehingga jika yang satu ditaati, maka yang lain harus (mau tidak mau, dengan sendirinya) dilanggar; dan ia hanya dapat di langgar jika ia, juga, tetap sah.[2])

B.                   Hakikat Moralitas.
Jika moral diartikan sebagai (sesuatu) yang menyangkut mengenai baik-buruknya manusia sebagai manusia, maka moralitas adalah keseluruhan norma, nilai, dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat.[3] Jadi moralitas adalah kompleksitas moral dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.[4]
Unsur-unsur Moralitas akan menghasilkan kualitas norma moral, semakin baik kualitas moral yang bersangkutan terhadap unsur-unsur moralitas sebagai berikut:
1.   Kebebasan
Kebebasan  manusia ini dapat dibedakan dalam dua golongan besar, yaitu:
a. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang diterima dari orang lain (sesama manusia), yang berarti bersifat heteronom, kebebasan sosial dapat dibatasi oleh tiga jenis, yaitu:
1)    Keterbatasan fisik,
2)   Keterbatasan psikis, dan
3)   Adanya perintah/larangan (normatif).
b.   Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk sikap dan perilaku dirinya sendiri yang bersifat otonom.[5]
2.   Tanggung jawab.
3.   Suara Hati.

C.          Pemisahan Hukum Dan Moral.
Pemisahan hukum dan moral memiliki karakter yang sangat berbeda-tidak begitu ketat secara rasional karena bukan didukung penalaran yang mendetail, melainkan lebih banyak bersandar pada kenangan terhadap pengalaman traumatis. Karena kritikan ini berisi kesaksian orang-orang yang jatuh ke neraka dan, seperti Ulyses atau Dante, kembali lagi ke bumi untuk membawa pesan baagi umat manusia. Hanya dalam kasus inilah neraka tidak lagi berada di bawah atau di luar bumi, melainkan di atasnya – neraka adalah apa yang diciptakan manusia bagi sesamanya.
Pandangan seperti ini datang dari para pemikir Jerman yang hidup selama rezim Nazi, merefleksikan manifestasi-manifestasi kejahatan di dalam sistem legal. Salah satu pemikirnya, Gustav Radbruch, memang doktrin kaum Positivis sebelum tirani Nazi berkuasa, tapi kemudian dia berubah oleh pengalaman ini dan mulai merasa pedih melihat kaum Positivis berusaha memisahkan hukum dari moral. Yang penting dari kritik ini adalah dia sungguh-sungguh berkonfrontasi dengan titik dimana Bentham dan Austin sangat ingin memisahkan hukum-sebagaimana-adanya dari hukum-sebagaimana-mestinya. Para pemikir Jerman ini mendesakkan kebutuhan untuk menyatukan apa yang dipisahkan kaum Utilitarian justru di tempat-tempat paling krusial di mata para Utilitarian kebenaran hukum-hukum yang secara moral memang jahat.
Sebelum perubahan ini, Radbruch yakin bahwa resistensi terhadap hukum merupakan persoalan yang terkait dengan suara hati personal, dianggap sebagai masalah moral individual. Karena itu, validitas hukum tidak bisa dibantah hanya dengan menunjukkan bahwa persyaratannya jahat secara moral, atau dengan menunjukkan bahwa efek dari ketidaksepakatan terhadap hukum akan lebih jahat daripada efek dari ketidak-patuhan. Austin bisa dikatakan merasakan empati kepada mereka yang menuduh bahwa jika hukum manusia akhirnya berkonflik dengan prinsip-prinsip fundamental moralitas, maka hukum berhenti menjadi hukum dan merosot menjadi “omong kosong”.[6]
Hukum-hukum yang paling kejam, dan karenanya paling bertentangan dengan kehendak Tuhan, telah dan secara terus-menerus memperkuat diri sebagai hukum lewat peradilan-peradilan Yudisial. Katakanlah sebuah tindakan yang tidak keliru, atau secara positif bermanfaat, dilarang oleh sebuah kedaulatan dibawah ancaman hukuman mati. Jika melakukan tindakan ini maka saya akan diadili dan didakwa, namun jika keberatan dengan dakwaan itu yang memang bertentangan dengan hukum Tuhan...maka lembaga keadilan akan membuktikan ketidak-sahihan penalaran saya dengan menghukum mati saya, berdasarkan hukum yang saya ragukan validitasnya. Sebuah pengecualian, sanggahan atau permintaan ampun, yang dibangun diatas hukum Tuhan tidak pernah didengarkan oleh Lembaga Peradilan, sejak penciptaan dunia sampai sekarang.[7]
Ini adalah pernyataan yang sangat keras dan brutal, namun kita harus ingat bahwa kata-kata itu sudah lama berlaku-dalam kasus Austin, apalagi Bentham dengan keyakinan bahwa jika hukum mencapai derajat ketidak-adilan tertentu maka akan terdapat kewajiban moral yang menentangnya dan memaksakan sebuah kepatuhan, kita akan melihat, waktu mempertimbangkan alternatif, bahwa pengkajian sederhana dilema manusia ini bisa memunculkan banyak pemikiran.
Namun Radbruch justru menyimpulkan dari titik ini saja, dimana rezim Nazi telah mengeksploitasi kepatuhan masyarakat kepada hukum semata-atau dalam slogan kaum “Positivis”: “hukum adalah hukum” (Gesetz als Gesetz)- dan dari kegagalan profesi hukum Jerman memprotes kejahatan yang dilakukan dalam nama hukum, bahwa “positivisme” (yang dimaknai pemisahan hukum sebagaimana-adanya dari sebagaimana-mestinya) memberikan kontribusi besar bagi penggunaan teror. Refleksi-refleksi ini membawanya kepada doktrin bahwa prinsip-prinsip fundamental moralitas kemanusiaan adalah bagian inti dari konsep Recht atau legalitas, sehingga tidak ada tindakan positif atau undang-undang bagaimanapun jelasnya diekspresikan dan bagaimanapun jelasnya bersesuaian dengan kreteria formal validitas sistem legal yang ada bisa menjadi valid jika menentang prinsip-prinsip dasar moralitas. Doktrin Radbruch ini sendiri baru bisa dipahami sepenuhnya hanya jika nuansa kata Jerman Recht kita pahami. Tapi yang jelas doktrin ini memaksudkan setiap advokat dan hakim boleh menerbitkan undang-undang untuk menggerus prinsip-prinsip fundamental yang bukan hanya immorial atau keliru, namun juga yang tidak memiliki karakter legal, dan menindak lanjuti kualitas hukum untuk menjadi legal berdasarkan kebutuhan individual manapun dalam kondisi-kondisi tertentu. Perubahan total dari doktrin awal ini sayangnya hanya kita peroleh dari penerjemahan tulisan-tulisannya, tapi buku-buku inipun sudah layak untuk dibaca setiap orang yang ingin melihat alternatif berbeda mengenai keterkaitan hukum dan moral.[8]

D.          Moralitas Dalam Hukum.
Lawrence M. Friedman menyebutkan tiga unsur dari sistem hukum itu, yaitu:
1.   Struktur,
2.   Substansi, dan
3.   Budaya Hukum.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra membedakan unsur-unsur dari sistem hukum itu lebih banyak lagi, yakni:
1.   Masyarakat Hukum,
2.   Budaya Hukum,
3.   Filsafat Hukum,
4.   Pendidikan Hukum (Ilmu Hukum),
5.   Konsep Hukum,
6.   Pembentukan Hukum,
7.   Bentuk Hukum,
8.   Penerapan Hukum,
9.   Evaluasi Hukum.[9]
Moral adalah hasil penilaian tentang baik buruk manusia sebagai manusia. Pengertian manusia disini baik secara pribadi (individu) maupun secara kelompok (masyarakat). Penilaian di sini berarti suatu tindakan memberi nilai atau meletakkan suatu kualitas tertentu terhadap seseorang atau masyarakat. Sebagai suatu kompleks dari nilai-nilai (sistem nilai) atau kumpulan moral, moralitas pada diri seseorang atau suatu masyarakat digunakan dalam dua hal, yakni:
1. Sebagai standart normatif evaluasi (normative standards of evaluation), dan
2.   Aturan normatif perilaku (normative rules of conduct).[10]
Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan seorang individu atau sekelompok masyarakat dalam dua hal tersebut. Norma hukum dapat digunakan untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan. Artinya, walaupun norma hukum lebih menuntut ketaatan fisik, bukan batin, tetap saja norma hukum membutuhkan sikap-sikap yang kondusif agar seseorang atau sekelompok masyarakat dapat berprilaku sesuai dengan hukum.[11]
Setiap norma hukum seharusnya mempunyai misi atau amanat moralitas yang ingin dicapai melalui norma itu. Di sini berarti kita sampai pada persoalan tujuan hukum. Berbicara tentang tujuan hukum berarti berbicara mengenai nilai-nilai dasar hukum. Seperti dinyatakan oleh Radbruch, bahwa suatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya. Yujuan ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu:
1.   Keadilan,
2.   Kepastian, dan
3.   Kemanfaatan.[12]
E.          Consilience Hukum Dan Moral (Etika Dan Agama).
Sesuatu yang senantiasa dipahami secara tidak memadai tentang hubungan itu. Penjelasan melalui consilience ini berbeda dengan penjelasan tentang hukum dan moral sebelumnya. Mungkinkah hukum dan moral dipertentangkan atau dipisahkan, sangat mungkin, bahkan perdebatan ini telah menjadi titik sentral antara pemikir hukum alam dengan kaum positivisme hukum, sebagai bentuk penolakan terhadap konsep-konsep penting dari pemikiran hukum alam. Untuk lebih memahami hubungan hukum dan moral (umumnya banyak ditemukan dalam beberapa buku filsafat hukum tingkat awal) paling tidak ada tiga kemungkinan yang dapat dijelaskan.[13]
Pertama, ada pandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain, sebab hukum dan moral memerintahkan muatan aktual hukum buatan manusia (hukum positif). Hubungan antara moralitas dan hukum sangat kuat, sebab ada asumsi bahwa apa yang ditetapkan oleh hukum positif di dalam aturan-aturannya sebenarnya tidak lain adalah manifestasi moralitas atau asas-asas moral itu sendiri. Untuk itu, ada dua alternatif yang tidak mengandung moralitas dianggap sebagai hukum yang tidak adil.
Kedua, hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab masing-masing memiliki wilayah keberlakuan sendiri, meskipun sebagai hukum yang lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuan hukum positif, bila hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin adalah kaidah yang lain yaitu hukum moral atau kaidah kesusilaan. Hukum positif menyelenggarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarakat, hukum moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut. Hukum positif bekerja secara dipaksakan dan secara lahiriah, hukum moral berlaku atas dasar kesadaran diri manusia.
Ketiga, hukum dan moralitas masing-masing memiliki otonom ruang lingkup yang eksklusif. Hal ini berarti validitas sebuah aturan hukum pertama-tama bergantung pada kreteria hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu-satunya kreteria validitas sebuah hukum adalah pengundangannya yang formal. Validitas moral juga ditentukan oleh penerapan kreteria yang cocok dengan sistem moralitas yang ada. Para pendukung gagasan ini biasanya memandang hukum moral secara pragmatis dan mendasarkan pandangannya tersebut pada beberapa asas seperti misalnya: asas manfaat, tradisi, dan kebiasaan masyarakat. Menurut Antonio Boggiano, kaum positivis hukum berusaha sedapat mungkin menghindari pembahasan tentang hukum moral (1987 : 3).[14]
Penalaran moral di masyarakat modern dan masyarakat tradisional masing-masing memiliki perbedaan, sehingga tidak mengherankan persoalan ini menjadi topik pertikaian yang paling terbuka dan sangat problematik. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang dalam upaya consilience hukum dan moral ini perlu diperhatikan paling sedikit beberapa topik sebagai berikut: pertama, penegasan kembali tentang pendefinisian sentimen-sentimen moral; kedua, proses-proses psikologis dan fisiologis menyangkut perilaku etika; ketiga, perkembangan sentimen-sentimen moral, sebagai produk dari interaksi manusia dengan lingkungan, hal ini akan berkaitan dengan sejarah sistem etika, kemunculan berbagai jenis budaya, perkembangan kognitif individu yang tinggal dalam berbagai jenis budaya. Melalui rangkaian topik-topik sebagaaimana di atas, maka paling tidak dapat ditemukan sarana-sarana yang paling efektif untuk mencapai konsensus, sehingga consilience hukum dan moral menjadi lebih mungkin untuk dipertimbangkan.[15]
  
F.                   Penutup
Sejarah filsafat hukum, orang berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi, yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan tentang keterikatan denfan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan. Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki.
Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.[16]













[1] R.M. Dworkin (sus) Yudi Susanto (ter), Filsafat Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Merkid Press, 2013. hlm. 1.
[2]  B. Arief Sidharta, Hukum Dan Logika, P.T Alumni, Bandung, 2011, hlm. 39-40.
[3] Henry Adams, The Education of Henry Adams, vol. II (New York: Time Inc.Book Division, 1964), Bab XXII.
[4] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 43.
[5] John Stuart Miil, On Liberty: Perihal Kebebasan, Ed. 2, terjemahan Alex lanur, Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 143 et seq.
[6] R.M. Dworkin (sus) Yudi Susanto (ter), Op.Cit. hlm. 46-47.
[7] Austin, The Province Of Jurisprudence Determined (Library of Ideas, 1954) hlm. 185.
[8] Lihat Radbruch, Gesetzliches Unrecht und Ubergesetzliches Recht, Suddeutsche Juristen Zeitung 105 (Jerman, 1946), dicetak ulang dalam Radbruch, Rechtphilosophie (edisi keempat, 1950) hlm. 347.
[9] Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 91.
[10]  Shidarta, Op.Cit, hlm. 77.
[11]  Loc. Cit, hlm. 77.
[12]  Ibid. Hlm. 79.
[13] Anthon F, Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, 2007. hlm. 67.
[14] Ibid, hlm. 67-68.
[15] Ibid, hlm. 73.
[16] http: // nuragungsugiarto.blogspot.com / 2012 / 02 / peran – filsafat - hukum – dalam -pembentukan.html., di unduh pada tanggal 3 Januari 2014.

No comments:

Post a Comment