Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Ujian
Tengah Semester Mata
Kuliah Filsafat Hukum
Dosen :
Dr. AHMAD HUNAENI ZULKARNAEN, SH, MH
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
2013
A. Latar
Belakang Penelitian.
Tak kenal maka tak sayang, istilah ini penulis gunakan dalam rangka mencari
seperti apa filsafat hukum tersebut. Inilah menurut Meuwissen, dalam dalil kedua : Terdapat tiga tataran abstraksi
refleksi teoretikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum, teori hukum dan
filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua
bentuk pengembangan hukum teoretikal dan pengembangan hukum praktikal.[1] Dalam
dalil tersebut pada nomor 3 (tiga) menyebutkan dengan filsafat hukum kita
kembali ke filsafat. Filsafat hukum dan teori hukum tidaklah sama. Jadi, “Legal Theory” dan “Legal Science” bukanlah filsafat hukum (beberapa pemikir
berpendapat lain). Filsafat hukum merefleksi semua masalah fundamental yang
berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu
hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersifat kritikal
terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Juga untuk
pengaruh ini harus ajukan argumen-argumen. Untuk itu, maka perlu secara cermat
diadakan pembedaan antara hakikat pengembanan hukum dan pengembanan ilmu-ilmu
empirik. Hukum sesungguhnya bukanlah gejala empirikal murni, tetapi
memprlihatkan juga ciri-ciri normatif. Dalam suasana hukum, maka “Sein” dan “Sollen” justru tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dari
yang lain! Hukum adalah suasana dari “Das
Sein” yang didalamnya “Das -
Sollen” mendapatkan wujudnya. Fakta dan kaidah di dalam hukum
selalu berjalan saling berimpitan: hukum adalah fakta dan kaidah sekaligus.
Dari sini tampak bahwa filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan-kesimpulan
dari teori hukum. Ia misalnya mempertanyakan apakah ilmu hukum itu ? apa arti
khusus dari “menjelaskan “(Erklaren)”,
“memahami” dan “mengerti” ? Apa yang dimaksud dengan berargumentasi ? Tetapi
filsafat hukum bergerak lebih jauh lagi, dan merefleksi pertanyaan-pertanyaan
yang bagi teori hukum sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan
keadilan. Hubungan antara hukum dan etika adalah masalah yang paling pokok
dalam filsafat hukum. Sudah sejak zaman kuno masalah ini oleh sebagian besar
para filsuf diketengahkan. Filsafat ilmu modern dan teori hukum dalam
lingkungan persoalan ini (tentang
masalah keadilan atau hubungan antara hukum dan etika) tidak dapat memberikan
kontribusinya. Di sini kita menyentuh tema yang paling klasik dari filsafat
praktikal, khususnya masalah yang berkaitan dengan pertanyaan berdasarkan
kreteria apa kita menilai perilaku manusiawi ? apakah hal penentuan dari isi
dari “baik” dan “buruk” itu termasuk persoalan subjektif-irasional yang murni,
atau apakah isi ini secara kefilsafatan dapat diargumentasi secara rasional ?
Filsafat hukum tidak puas hanya dengan kerangka kaku dan penataan yang
diberikan oleh teori hukum modern.[2]
B. Pengertian
Filsafat Hukum.
Pengertian filsafat hukum sangat beragam, dapat disebutkan di antaranya :
a. Filsafat hukum merupakan ilmu. Hal ini dikemukakan oleh para filosof
seperti Plato dan Aristoteles. Ilmu di sini diartikan
sebagai kegiatan berpikir;
b. Filsafat hukum berkaitan dengan persoalan nurani manusia sebagaimana
dijelaskan oleh Gustav Radbruch. Muchtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang obyeknya khusus hukum.
Memang kalau kita hubungkan dengan skema filsafat yang dikemukakan Aristoteles, bahwa filsafat memiliki
bagian-bagian sebagai berikut :
1) Logika;
2) Teoritis (kosmologi), yang meliputi : ilmu pengetahuan alam, matematika, metafisika;
3)
Praktis (etika), yang diatur : norma agama, norma kesopanan, norma
kesusilaan, norma hukum; dan juga bisa diartikan yang ada hubungannya dengan
norma politik dan norma ekonomi;
4)
Poetika (estetika), yang meliputi kesenian, keindahan (pemandangan),
lukisan.
Jika dikaitkan dengan pendapat Aristoteles tersebut, filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat
etika. Etika sendiri adalah tingkah laku manusia yang baik atau buruk. Yang
erat hubungannya dengan (filsafat) hukum dan skema filsafat tersebut diatas
adalah (filsafat) logika dan etika. Logika, mengenal pengertian-pengertian
hukum, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia yang diatur oleh norma hukum.
c. Filsafat hukum merupakan filsafat khusus, hal ini dikemukakan oleh Zevenbergen. Jika dianalisa, ada juga
filsafat khusus lainnya seperti filsafat agama, kesopanan, dan kesusilaan.
d.
Filsafat hukum merupakan filsafat terapan, hal ini dikatakan oleh Zoachim Friedrich. Jika kita analisa
artinya, bahwa filsafat hukum dapat diterapkan di dalam masyarakat dengan cara
menyusun teori hukumnya. Seperti kita ketahui teori hukum itu sendiri
menyangkut dasar-dasar bagaimana menyusun hukum positif. Kalau kita ambil
contoh di Indonesia, filsafat hukum yang ada di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu pada alenia pertama, kedua, dan keempat yang berisi kata-kata
: perikeadilan, adil, keadilan sosial dijabarkan dalam pasal-pasal di dalam
Batang Tubuhnya.
e. Filsafat hukum merupakan filsafat praktis, hal ini lebih banyak dikemukakan
para ahli dari tradisi Anglo – Amerika. Dapat kita artikan, bahwa filsafat
hukum agar mudah diterapkan harus disusun pula teori hukumnya; atau jika kita
hubungkan dengan pengertian jurisprudence
dapat dikatakan sama artinya. Muchtar
Kusumaatmadja memberi pengertian pada yurisprudensi yaitu ilmu yang
mempelajari pengertian dasar dan sistem daripada hukum secara lebih mendalam.
Pengertian-pengertian dasar dan sistem hukum tersebut, disebut pula sebagai
teori hukum, seperti subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum,hubungan
hukum, dan objek hukum yang dapat kita lihat dalam sistem hukum perdata,
pidana, adat, tata negara, internasional, dan administrasi negara. Sedangkan pengertian
secara lebih mendalam adalah menyangkut filsafat hukumnya, sebagai contoh Undang-Undang
Dasar 1945, filsafat hukum ada pada Pembukaan, teori hukumnya terdapat pada
Batang Tubuhnya. Begitu pula undang-undang sebagai pelaksana Undang-undang
Dasar disebut juga sebagai undang-undang organiknya, filsafat hukum terdapat di
konsiderans undang-undang tersebutyang menunjuk pasal Undang-Undang Dasar
berarti pula jiwanya tidak terlepas dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kalau kita ambil contoh filsafat terapan adalah : peranan
hukum sebagai masyarakat aslinya – Law as
a tool of social engineering sebagai konsep Roscoe Pound yang menggambarkan situasi Amerika Serikat, di mana
masyarakat Amerika Serikat yang ras discriminated. Hal ini bertentangan dengan
konstitusi Amerika Serikat sendiri, antara lain dikatakan bahwa semua warga
negara Amerika Serikat “equal before the
law” (sama di hadapan hukum). Jadi konsep ini hanya dapat diterapkan di
Amerika Serikat saja. Sedangkan filsafat praktis, contohnya : konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti dikemukakan Mochtar, hal ini mudah diterapkan di dalam masyarakat Indonesia
yang sedang membangun dan menuju moderenisasi (Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional” [paper]);
f.
Filsafat hukum merupakan filsafat teoritis. Pandangan ini pada umumnya
dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari Eropa Kontinental, antara lain
dikemukakan oleh Bellefroid.
Menurutnya, dalam Inleiding tot de Recht
Wettenschap, bahwa ilmu-ilmu hukum meliputi :
1)
Recht dogmatiek;
2)
Algemeine Recht leer (termasuk di dalamnya teori hukum);
3)
Recht Sociologie, Recht vergelijking, Recht historie;
4)
Recht Politiek;
5)
Recht filosofie.
Jadi pengertian teoritis di sini, bahwa filsafat hukum
dibicarakan tersendiri, begitu pula teori hukum (termasuk bagian dan Algemeine Recht leer).
Adapun yang menjadi latar belakang mengapa demikian,
yakni di mana masyarakat Eropa pada umumnya bersifat konservatif. Tujuan hukum hanya
ketertiban guna mencapai keadilan, tidak akan terjadi bahwa hukum dapat
berperan untuk mengubah perilaku konservatif tersebut. Orientasi masyarakat
Eropa adalah masa keemasannya yang terjadi pada abad yang telah lampau, jadi
jika ada perubahan berarti masa keemasan tersebut akan pudar.
g. Bender berpendapat bahwa : filsafat adalah genus, filsafat etika adalah spesies,
dan filsafat hukum merupakan sub spesiesnya.[3]
C.
Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum.
Dalam ruang yang tersedia dalam bab ini, kita tidak dapat memberikan garis
besar dalam sejarah filsafat hukum. Kemungkinan ini menjadi kurang, karena
seperti sudah kami kemukakan, suatu pandangan filsafat hukum dalam banyak aspek
tergantung pada dan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kefilsafatan
umum. Sejarah filsafat hukum dalam segi tertentu merupakan sejarah dari
filsafat. Kita melakukan seleksi dan memilih lima pandangan (aliran) filsafat
hukum, yang di masa lalu atau masa kini, atau kedua-duanya harus dianggap
relevan. Seleksi itu tidak mengimplikasikan bahwa kami (sepenuhnya) sependapat
dengan aliran-aliran ini, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa mengetahui
sesuatu tentang hal ini berguna untuk para mahasiswa. Untuk setiap aliran, kami
membatasi diri sejauh mungkin hanya pada satu penulis. Hal ini saja sudah cukup
majemuk. Beberapa penulis secara pendek sudah terlebih dahulu dikemukakan.
Dalam paragraf-paragraf berikut ini, kita membahas berturut-turut ; (1) Aliran
Hukum Kodrat, (2) Idialisme Klasik, (3) Marxisme, (4) Filsafat hukum
Positivisme, dan (5) Analitik. Sebagaimana telah dikemukakan, di sini hanya
akan diuraikan suatu gambaran umum terikhtisar (oversight) yang sangat sumir, sebab dalam dua nomor berikut akan
dicoba untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan inti dari filsafat hukum,
setiap kali dari sudut lima pandangan ini. Tentang berbagai pandangan dan
nuansa lain, tidak akan dibicarakan.[4]
D.
Apakah Filsafat Hukum Itu ?
Dalam no. 419 (lihat
B. Arief Sidharta
(Penerjemah), Meuwissen tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika
Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm. 29-30.) kami telah mengemukakan bahwa
sangat sulit untuk menunjukkan sifat dan filsafat hukum secara umum. Hal itu
disebabkan, demikian kami kemukakan, filsafat hukum adalah suatu bagian dari
filsafat umum, dan karena setiap uraian tentang arti (definisi) dari “filsafat”
sudah mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan (jadi, filsafat) tertentu.
Jadi sebenarnya kita terlebih dahulu harus mengetahui sesuatu tentang filsafat.
Menurut pandangan kami, filsafat adalah suatu pendasaran
diri dan perenungan diri secara radikal. Ia merefleksi terutama tentang segala
hal yang ada, tentang “hal ada” dalam keumumannya.
Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal
“Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?” Jadi, filsafat
adalah hal merefleksi, suatu kegiatan berfikir dan juga memiliki sifat
rasional. Itu berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada
tesis-tesis dan pemahaman-pemahamannya, dan dalam segi itu ia terbuka bagi
kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Memang ia
berpretensi bahwa ia dengan putusan-putusannya telah mengungkapkan “keberlakuan
secara umum, mencakup kebenaran”. Tanpa pretensi ini, maka filsafat akan tidak
bermakna. Tetapi, pretensi ini berlaku “sampai ada bukti melawan”, sampai suatu
argumentasi rasional diajukan, yang berdasarkannya ia dapat dibantah. Kemudian
berlaku lagi bahwa bantahan itu adalah “benar” sampai terjadi bantahan
berikutnya. Dalam arti ini, filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi
intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan-diskusi
(diskursif) terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya. Jika
hal itu berlangsung baik, maka filsafat akan memiliki sifat tidak dogmatis dan
dengan demikian tidak terikat pada pendirian-pendirian (yang dimutlakkan),
terlepas dari sifat dan isi argumentasi-argumentasi yang diajukan.
Semuanya ini berlaku juga bagi filsafat hukum. Jadi, ia
tidak ditujukan, sebagaimana yang telah kita lihat terlebih dahulu, untuk
memaparkan, menginterpretasi, menjelaskan hukum yang berlaku, melainkan lebih
untuk memahami hukum dalam keumumannya (hukum sebagai demikian, law as such). Filsafat hukum ingin
mendalami “hakikat” dari hukum, dan itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai
penampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Hukum itu adalah
suatu bagian dari “kenyataan” dan dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat
dari kenyataan itu. Karena itu, filsafat hukum mengandaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika, yaitu
disiplin-disiplin yang berupaya untuk memberikankejelasan dalam arti apa
“kenyataan” dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan lebih dari itu bagaimana
perilaku manusia berkenaan dengan itu seharusnya dinilai. Kita sudah melihat
bahwa tematik dari filsafat hukum dapat dicakup dalam dua pernyataan inti,
yakni, apa landasan dari kekuatan mengikat dari hukum itu ? Dan berdasarkan apa
kita dapat menilai “keadilan” (richtigheid, rechtsvaardigheid) dari hukuman itu
?. Bila kita tepat melihatnya, maka penjawaban terhadap dua pernyataan itu
bergerak dalam wilayah perbatasan antara hukum dan etika. Filsafat hukum berada
di tengah-tengahnya sebab ia menyibukkan diri dengan sifat khas dari
aturan-aturan dan kaidah-kaidah perilaku. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah ini
dapat memiliki watak yang berbeda-beda. Misalnya etikal, yuridikal, kebiasaan
atau cara-cara tertentu, dan sebagainya. Sebagian dari kaidah-kaidah ini sama,
sebagian juga berbeda yang satu dari yang lainnya. Terkait pada hal tersebut
muncul sebuah pertanyaan sentral, apakah keterikatan pada berbagai jenis kaidah
yang berbeda-beda itu dapat dimotivasi secara abstrak (terpisah, sendiri-sendiri).
Atau bahwa hal itu harus dipikirkan dalam perkaitan di antara jenis-jenis
kaidah ini ?. Apakah, misalnya ada kaidah etikal yang mewajibkan kita untuk
mematuhi kaidah hukum. Dan sejauh mana kaidah-kaidah etikal harus di masukkan
ke dalam isi dari hukum ?. Apakah tugas dari hukum untuk memberikan sanksi pada
berlakunya etika ?. Juga berkenaan dengan kebiasaan dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan sejenis ?. Apakah mematuhi kebiasaan selalu secara etikal
atau secara yuridikal benar ?. Apakah kebiasaan selalu adil ?. Dengan
pertanyaan yang terakhir ini kita menyentuh sebuah persoalan yang sejak dahulu
juga dipandang sebagai persoalan etikal,
yakni apakah keadilan itu ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu
yang bermakna tentang keadilan ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan
sesuatu yang bermaksan tentang keadilan ?. Atau apakah kita di sini berurusan
dengan sebuah “nilai” yang tentang isi atau maknanya kita tidak dapat
mengetahui sesuatu apapun. Persoalan-persoalan tentang keadilan dan keterikatan
pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah ini tidak hanya berkaitan dengan
gejala-gejala hukum, melainkan memiliki jangkauan yang lebih umum. Ini
menyebabkan bahwa kita, walaupun dalam bab satu (lihat halaman 1-19) sudah
dikemukakan segala sesuatu tentang berbagai jenis kaidah ini, dalam bab ini
juga harus kembali ke sejumlah tema. Tema yang mana yang menjadi objek telaahan
filsafat hukum ?
Tentang tema yang paling penting, baru saja kita
bicarakan yakni hal mengartikulasikan hubungan antara hukum dan etika. Kita
bahkan dapat mengatakan bahwa pendirian yang dianut orang tentang hubungan ini
mewujudkan kreteria untuk pembagian berbagai aliran filsafat hukum. Grosso modo (dalam garis besar) dapat
kita kemukakan bahwa pandangan positivistik (dalam arti luas) bertolak dari
keyakinan bahwa hukum dan moral secara tajam terpisah yang satu dengan yang
lainnya. Itu berarti bahwa menurut pandangan-pandangan ini, hukum positif itu
adalah gejala yang mandiri, yang keberlakuan dan maknanya secara murni dapat
dilandaskan pada dirinya sendiri. Pemberian landasan berupa asas-asas diatas
yang positif (prapositif atau suprapositif) dianggap tidak perlu.
Pandangan-pandangan hukum kodrat pada sisi lain tentang hal ini menganut
pendirian yang berbeda. Mereka bertolak dari pandangan bahwa keterikatan pada
hukum positif dan penilaian terhadap isi dan kualitas dari hukum positif tidak
dapat sepenuhnya dimotivasi (dijelaskan) dari sudut hukum positif. Untuk itu
harus digunakan kriteria yang tidak didasarkan pada hukum, tetapi harus
dimotivasi dengan cara lain. Kita akan segera melihat bahwa penjawaban terhadap
dua pertanyaan inti filsafat hukum tergantung pada perspektif dasar filsafat
hukum, memiliki suatu sifat yang selalu berubah-ubah (berbeda-beda). Sejumlah
besar tema-tema lain dari filsafat hukum berkaitan erat dengan hubungan antara
hukum dan etika. Beberapa diantaranya dalam bab ini akan dikemukakan. Berkaitan
dengannya kita dapat mempersoalkan landasan dari hak milik, arti dari
kesepakatan dan kontrak, hak untuk menghukum. Bertalian dengan itu muncul dalam
hubungan-hubungan yang modern berbagai masalah marginal seperti penggunaan
rumah yang dibiarkan kosong, pendudukan bangunan umum, penggunaan kekuasaan dan
kekerasan (secara sewenang-wenang), berbagai bentuk perlawanan dan kritik
terhadap pemerintahan demokratik, dan sebagainya. Dalam berfungsinya suatu tata
(tertib) hukum atau demokrasi tidak hanya terletak landasan pemahaman
teoritikal pada umumnya, modalitas dari hal berfungsinya ini sangat bergantung
pada nuansa-nuansa dalam pemahaman demikian. Sebuah tata hukum bukanlah
suatugejala kebetulan atau sewenang-wenang. Ia kurang lebih menyatakan
hubungan-hubungan yang niscaya antara keyakinan-keyakinan (inzichten) tertentu. Hukum menghendaki stabilitas dan keadilan,
dan dalam suatu tata hukum penetapan tujuan demikian menjadi konkret; hal itu
berlaku juga untuk suatu demokrasi: di dalamnya ia berkaitan dengan perwujudan
suatu masyarakat yang bebas, yang didalamnya orang-orang dapat hidup dengan hak
mendapat perlakuan sama sebagai warga negara yang mandiri. Apa artinya itu ?
Dengan cara bagaimana suatu demokrasi dapat dilegitimasi ? Atas dasar apa ia
dapat (atau boleh) melakukan perlawanan terhadap pelanggaran pada landasannya ?
Persoalan-persoalan (praktikal) aktual yang demikian hanya dapat ditangani
berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu,
filsafat hukum mutlak diperlukan.[5]
E.
Penutup
Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang
mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum
adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga
diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Filsafat hukum mengajak berfikir kritis dan radikal
dalam menyikapi masalah, atau dalam artian memahami hukum tidak dalam arti
hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti
positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara
baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang pengadil (hakim) misalnya,
ia hanya menjadi ”corong undang-undang” belaka. Filsafat hukum adalah induk
dari semua disiplin yuridis, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah
yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, contoh kasus jika ada
masalah-masalah yang melampaui kemampuan berpikir manusia, maka filsafat hukum
akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan
jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi.
Kemudian untuk waktu yang lama, dalam sejarah filsafat
hukum, orang berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat
hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi,
yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan
tentang keterikatan denfan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip
hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah
hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum
akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara
berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat
koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan. Indonesia memang
menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum
terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan
dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan
masyarakat yang hakiki.
Filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan
Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya
tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS Tahun 1966,
kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP
III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan
yang didasari Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai penggangti
Undang-Undang No.10 Tahun 2004, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang
didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat
filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya hal ini telah sesuai dengan
bunyi kalimat kunci.
Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka
perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam
Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita
harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka
perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum
yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum
sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang
diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum
diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada
koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi
masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau
pembedaan lain.[6]
[1] B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen
tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika
Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm. 5.
[2] Ibid., hlm. 8-9.
[3] Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika
Aditama, Bandung, Cet. III, 2012, hlm.4-6.
[4] Op.Cit., hlm. 68- 69. Selanjutnya silahkan membaca halaman 69 -90.
[5] Ibid., hlm.65-68.
[6] http: // nuragungsugiarto.blogspot.com / 2012
/ 02 / peran – filsafat - hukum – dalam pembentukan.html., di unduh pada
tanggal 3 Januari 2014.
pertanyaan:
ReplyDeleteapakah pendapat hukum dapat langsung dikategorikan sebagai sebagai eori hukum? jelaskan dan berikan dasar hukumnya