Tuesday, 26 August 2014

MAKALAH FILSAFAT HUKUM - APAKAH FILSAFAT HUKUM ITU ?

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Filsafat Hukum

Dosen :

Dr. AHMAD HUNAENI ZULKARNAEN, SH, MH

                   
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
2013

A.      Latar Belakang Penelitian.
Tak kenal maka tak sayang, istilah ini penulis gunakan dalam rangka mencari seperti apa filsafat hukum tersebut. Inilah menurut Meuwissen, dalam dalil kedua : Terdapat tiga tataran abstraksi refleksi teoretikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembangan hukum teoretikal dan pengembangan hukum praktikal.[1] Dalam dalil tersebut pada nomor 3 (tiga) menyebutkan dengan filsafat hukum kita kembali ke filsafat. Filsafat hukum dan teori hukum tidaklah sama. Jadi, “Legal Theory” dan “Legal Science” bukanlah filsafat hukum (beberapa pemikir berpendapat lain). Filsafat hukum merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersifat kritikal terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Juga untuk pengaruh ini harus ajukan argumen-argumen. Untuk itu, maka perlu secara cermat diadakan pembedaan antara hakikat pengembanan hukum dan pengembanan ilmu-ilmu empirik. Hukum sesungguhnya bukanlah gejala empirikal murni, tetapi memprlihatkan juga ciri-ciri normatif. Dalam suasana hukum, maka “Sein” dan “Sollen” justru tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dari yang lain! Hukum adalah suasana dari “Das Sein” yang didalamnya “Das -
Sollen” mendapatkan wujudnya. Fakta dan kaidah di dalam hukum selalu berjalan saling berimpitan: hukum adalah fakta dan kaidah sekaligus. Dari sini tampak bahwa filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum. Ia misalnya mempertanyakan apakah ilmu hukum itu ? apa arti khusus dari “menjelaskan “(Erklaren)”, “memahami” dan “mengerti” ? Apa yang dimaksud dengan berargumentasi ? Tetapi filsafat hukum bergerak lebih jauh lagi, dan merefleksi pertanyaan-pertanyaan yang bagi teori hukum sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan keadilan. Hubungan antara hukum dan etika adalah masalah yang paling pokok dalam filsafat hukum. Sudah sejak zaman kuno masalah ini oleh sebagian besar para filsuf diketengahkan. Filsafat ilmu modern dan teori hukum dalam lingkungan persoalan ini  (tentang masalah keadilan atau hubungan antara hukum dan etika) tidak dapat memberikan kontribusinya. Di sini kita menyentuh tema yang paling klasik dari filsafat praktikal, khususnya masalah yang berkaitan dengan pertanyaan berdasarkan kreteria apa kita menilai perilaku manusiawi ? apakah hal penentuan dari isi dari “baik” dan “buruk” itu termasuk persoalan subjektif-irasional yang murni, atau apakah isi ini secara kefilsafatan dapat diargumentasi secara rasional ? Filsafat hukum tidak puas hanya dengan kerangka kaku dan penataan yang diberikan oleh teori hukum modern.[2]

B.             Pengertian Filsafat Hukum.
Pengertian filsafat hukum sangat beragam, dapat disebutkan di antaranya :
      a. Filsafat hukum merupakan ilmu. Hal ini dikemukakan oleh para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Ilmu di sini diartikan sebagai kegiatan berpikir;
         b. Filsafat hukum berkaitan dengan persoalan nurani manusia sebagaimana dijelaskan oleh Gustav Radbruch. Muchtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang obyeknya khusus hukum. Memang kalau kita hubungkan dengan skema filsafat yang dikemukakan Aristoteles, bahwa filsafat memiliki bagian-bagian sebagai berikut :
1)             Logika;
2)    Teoritis (kosmologi), yang meliputi : ilmu pengetahuan alam, matematika,  metafisika;
3)           Praktis (etika), yang diatur : norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum; dan juga bisa diartikan yang ada hubungannya dengan norma politik dan norma ekonomi;
4)           Poetika (estetika), yang meliputi kesenian, keindahan (pemandangan), lukisan.
Jika dikaitkan dengan pendapat Aristoteles tersebut, filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat etika. Etika sendiri adalah tingkah laku manusia yang baik atau buruk. Yang erat hubungannya dengan (filsafat) hukum dan skema filsafat tersebut diatas adalah (filsafat) logika dan etika. Logika, mengenal pengertian-pengertian hukum, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia yang diatur oleh norma hukum.
c.    Filsafat hukum merupakan filsafat khusus, hal ini dikemukakan oleh Zevenbergen. Jika dianalisa, ada juga filsafat khusus lainnya seperti filsafat agama, kesopanan, dan kesusilaan.
d.           Filsafat hukum merupakan filsafat terapan, hal ini dikatakan oleh Zoachim Friedrich. Jika kita analisa artinya, bahwa filsafat hukum dapat diterapkan di dalam masyarakat dengan cara menyusun teori hukumnya. Seperti kita ketahui teori hukum itu sendiri menyangkut dasar-dasar bagaimana menyusun hukum positif. Kalau kita ambil contoh di Indonesia, filsafat hukum yang ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada alenia pertama, kedua, dan keempat yang berisi kata-kata : perikeadilan, adil, keadilan sosial dijabarkan dalam pasal-pasal di dalam Batang Tubuhnya.
e.           Filsafat hukum merupakan filsafat praktis, hal ini lebih banyak dikemukakan para ahli dari tradisi Anglo – Amerika. Dapat kita artikan, bahwa filsafat hukum agar mudah diterapkan harus disusun pula teori hukumnya; atau jika kita hubungkan dengan pengertian jurisprudence dapat dikatakan sama artinya. Muchtar Kusumaatmadja memberi pengertian pada yurisprudensi yaitu ilmu yang mempelajari pengertian dasar dan sistem daripada hukum secara lebih mendalam. Pengertian-pengertian dasar dan sistem hukum tersebut, disebut pula sebagai teori hukum, seperti subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum,hubungan hukum, dan objek hukum yang dapat kita lihat dalam sistem hukum perdata, pidana, adat, tata negara, internasional, dan administrasi negara. Sedangkan pengertian secara lebih mendalam adalah menyangkut filsafat hukumnya, sebagai contoh Undang-Undang Dasar 1945, filsafat hukum ada pada Pembukaan, teori hukumnya terdapat pada Batang Tubuhnya. Begitu pula undang-undang sebagai pelaksana Undang-undang Dasar disebut juga sebagai undang-undang organiknya, filsafat hukum terdapat di konsiderans undang-undang tersebutyang menunjuk pasal Undang-Undang Dasar berarti pula jiwanya tidak terlepas dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kalau kita ambil contoh filsafat terapan adalah : peranan hukum sebagai masyarakat aslinya – Law as a tool of social engineering sebagai konsep Roscoe Pound yang menggambarkan situasi Amerika Serikat, di mana masyarakat Amerika Serikat yang ras discriminated. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat sendiri, antara lain dikatakan bahwa semua warga negara Amerika Serikat “equal before the law” (sama di hadapan hukum). Jadi konsep ini hanya dapat diterapkan di Amerika Serikat saja. Sedangkan filsafat praktis, contohnya : konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti dikemukakan Mochtar, hal ini mudah diterapkan di dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan menuju moderenisasi (Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional” [paper]);
f.             Filsafat hukum merupakan filsafat teoritis. Pandangan ini pada umumnya dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari Eropa Kontinental, antara lain dikemukakan oleh Bellefroid. Menurutnya, dalam Inleiding tot de Recht Wettenschap, bahwa ilmu-ilmu hukum meliputi :
1)            Recht dogmatiek;
2)           Algemeine Recht leer (termasuk di dalamnya teori hukum);
3)            Recht Sociologie, Recht vergelijking, Recht historie;
4)            Recht Politiek;
5)            Recht filosofie.
Jadi pengertian teoritis di sini, bahwa filsafat hukum dibicarakan tersendiri, begitu pula teori hukum (termasuk bagian dan Algemeine Recht leer).
Adapun yang menjadi latar belakang mengapa demikian, yakni di mana masyarakat Eropa pada umumnya bersifat konservatif. Tujuan hukum hanya ketertiban guna mencapai keadilan, tidak akan terjadi bahwa hukum dapat berperan untuk mengubah perilaku konservatif tersebut. Orientasi masyarakat Eropa adalah masa keemasannya yang terjadi pada abad yang telah lampau, jadi jika ada perubahan berarti masa keemasan tersebut akan pudar.
g.     Bender berpendapat bahwa : filsafat adalah genus, filsafat etika adalah spesies, dan filsafat hukum merupakan sub spesiesnya.[3]

C.          Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum.
Dalam ruang yang tersedia dalam bab ini, kita tidak dapat memberikan garis besar dalam sejarah filsafat hukum. Kemungkinan ini menjadi kurang, karena seperti sudah kami kemukakan, suatu pandangan filsafat hukum dalam banyak aspek tergantung pada dan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kefilsafatan umum. Sejarah filsafat hukum dalam segi tertentu merupakan sejarah dari filsafat. Kita melakukan seleksi dan memilih lima pandangan (aliran) filsafat hukum, yang di masa lalu atau masa kini, atau kedua-duanya harus dianggap relevan. Seleksi itu tidak mengimplikasikan bahwa kami (sepenuhnya) sependapat dengan aliran-aliran ini, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa mengetahui sesuatu tentang hal ini berguna untuk para mahasiswa. Untuk setiap aliran, kami membatasi diri sejauh mungkin hanya pada satu penulis. Hal ini saja sudah cukup majemuk. Beberapa penulis secara pendek sudah terlebih dahulu dikemukakan. Dalam paragraf-paragraf berikut ini, kita membahas berturut-turut ; (1) Aliran Hukum Kodrat, (2) Idialisme Klasik, (3) Marxisme, (4) Filsafat hukum Positivisme, dan (5) Analitik. Sebagaimana telah dikemukakan, di sini hanya akan diuraikan suatu gambaran umum terikhtisar (oversight) yang sangat sumir, sebab dalam dua nomor berikut akan dicoba untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan inti dari filsafat hukum, setiap kali dari sudut lima pandangan ini. Tentang berbagai pandangan dan nuansa lain, tidak akan dibicarakan.[4]

D.          Apakah Filsafat Hukum Itu ?
Dalam no. 419 (lihat B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm. 29-30.) kami telah mengemukakan bahwa sangat sulit untuk menunjukkan sifat dan filsafat hukum secara umum. Hal itu disebabkan, demikian kami kemukakan, filsafat hukum adalah suatu bagian dari filsafat umum, dan karena setiap uraian tentang arti (definisi) dari “filsafat” sudah mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan (jadi, filsafat) tertentu. Jadi sebenarnya kita terlebih dahulu harus mengetahui sesuatu tentang filsafat.
Menurut pandangan kami, filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia merefleksi terutama tentang segala hal yang ada, tentang “hal ada” dalam keumumannya.
Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal “Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?” Jadi, filsafat adalah hal merefleksi, suatu kegiatan berfikir dan juga memiliki sifat rasional. Itu berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada tesis-tesis dan pemahaman-pemahamannya, dan dalam segi itu ia terbuka bagi kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Memang ia berpretensi bahwa ia dengan putusan-putusannya telah mengungkapkan “keberlakuan secara umum, mencakup kebenaran”. Tanpa pretensi ini, maka filsafat akan tidak bermakna. Tetapi, pretensi ini berlaku “sampai ada bukti melawan”, sampai suatu argumentasi rasional diajukan, yang berdasarkannya ia dapat dibantah. Kemudian berlaku lagi bahwa bantahan itu adalah “benar” sampai terjadi bantahan berikutnya. Dalam arti ini, filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan-diskusi (diskursif) terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya. Jika hal itu berlangsung baik, maka filsafat akan memiliki sifat tidak dogmatis dan dengan demikian tidak terikat pada pendirian-pendirian (yang dimutlakkan), terlepas dari sifat dan isi argumentasi-argumentasi yang diajukan.
Semuanya ini berlaku juga bagi filsafat hukum. Jadi, ia tidak ditujukan, sebagaimana yang telah kita lihat terlebih dahulu, untuk memaparkan, menginterpretasi, menjelaskan hukum yang berlaku, melainkan lebih untuk memahami hukum dalam keumumannya (hukum sebagai demikian, law as such). Filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dan itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Hukum itu adalah suatu bagian dari “kenyataan” dan dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat dari kenyataan itu. Karena itu, filsafat hukum mengandaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika, yaitu disiplin-disiplin yang berupaya untuk memberikankejelasan dalam arti apa “kenyataan” dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan lebih dari itu bagaimana perilaku manusia berkenaan dengan itu seharusnya dinilai. Kita sudah melihat bahwa tematik dari filsafat hukum dapat dicakup dalam dua pernyataan inti, yakni, apa landasan dari kekuatan mengikat dari hukum itu ? Dan berdasarkan apa kita dapat menilai “keadilan” (richtigheid, rechtsvaardigheid) dari hukuman itu ?. Bila kita tepat melihatnya, maka penjawaban terhadap dua pernyataan itu bergerak dalam wilayah perbatasan antara hukum dan etika. Filsafat hukum berada di tengah-tengahnya sebab ia menyibukkan diri dengan sifat khas dari aturan-aturan dan kaidah-kaidah perilaku. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah ini dapat memiliki watak yang berbeda-beda. Misalnya etikal, yuridikal, kebiasaan atau cara-cara tertentu, dan sebagainya. Sebagian dari kaidah-kaidah ini sama, sebagian juga berbeda yang satu dari yang lainnya. Terkait pada hal tersebut muncul sebuah pertanyaan sentral, apakah keterikatan pada berbagai jenis kaidah yang berbeda-beda itu dapat dimotivasi secara abstrak (terpisah, sendiri-sendiri). Atau bahwa hal itu harus dipikirkan dalam perkaitan di antara jenis-jenis kaidah ini ?. Apakah, misalnya ada kaidah etikal yang mewajibkan kita untuk mematuhi kaidah hukum. Dan sejauh mana kaidah-kaidah etikal harus di masukkan ke dalam isi dari hukum ?. Apakah tugas dari hukum untuk memberikan sanksi pada berlakunya etika ?. Juga berkenaan dengan kebiasaan dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan sejenis ?. Apakah mematuhi kebiasaan selalu secara etikal atau secara yuridikal benar ?. Apakah kebiasaan selalu adil ?. Dengan pertanyaan yang terakhir ini kita menyentuh sebuah persoalan yang sejak dahulu juga  dipandang sebagai persoalan etikal, yakni apakah keadilan itu ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermakna tentang keadilan ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermaksan tentang keadilan ?. Atau apakah kita di sini berurusan dengan sebuah “nilai” yang tentang isi atau maknanya kita tidak dapat mengetahui sesuatu apapun. Persoalan-persoalan tentang keadilan dan keterikatan pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah ini tidak hanya berkaitan dengan gejala-gejala hukum, melainkan memiliki jangkauan yang lebih umum. Ini menyebabkan bahwa kita, walaupun dalam bab satu (lihat halaman 1-19) sudah dikemukakan segala sesuatu tentang berbagai jenis kaidah ini, dalam bab ini juga harus kembali ke sejumlah tema. Tema yang mana yang menjadi objek telaahan filsafat hukum ?
Tentang tema yang paling penting, baru saja kita bicarakan yakni hal mengartikulasikan hubungan antara hukum dan etika. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa pendirian yang dianut orang tentang hubungan ini mewujudkan kreteria untuk pembagian berbagai aliran filsafat hukum. Grosso modo (dalam garis besar) dapat kita kemukakan bahwa pandangan positivistik (dalam arti luas) bertolak dari keyakinan bahwa hukum dan moral secara tajam terpisah yang satu dengan yang lainnya. Itu berarti bahwa menurut pandangan-pandangan ini, hukum positif itu adalah gejala yang mandiri, yang keberlakuan dan maknanya secara murni dapat dilandaskan pada dirinya sendiri. Pemberian landasan berupa asas-asas diatas yang positif (prapositif atau suprapositif) dianggap tidak perlu. Pandangan-pandangan hukum kodrat pada sisi lain tentang hal ini menganut pendirian yang berbeda. Mereka bertolak dari pandangan bahwa keterikatan pada hukum positif dan penilaian terhadap isi dan kualitas dari hukum positif tidak dapat sepenuhnya dimotivasi (dijelaskan) dari sudut hukum positif. Untuk itu harus digunakan kriteria yang tidak didasarkan pada hukum, tetapi harus dimotivasi dengan cara lain. Kita akan segera melihat bahwa penjawaban terhadap dua pertanyaan inti filsafat hukum tergantung pada perspektif dasar filsafat hukum, memiliki suatu sifat yang selalu berubah-ubah (berbeda-beda). Sejumlah besar tema-tema lain dari filsafat hukum berkaitan erat dengan hubungan antara hukum dan etika. Beberapa diantaranya dalam bab ini akan dikemukakan. Berkaitan dengannya kita dapat mempersoalkan landasan dari hak milik, arti dari kesepakatan dan kontrak, hak untuk menghukum. Bertalian dengan itu muncul dalam hubungan-hubungan yang modern berbagai masalah marginal seperti penggunaan rumah yang dibiarkan kosong, pendudukan bangunan umum, penggunaan kekuasaan dan kekerasan (secara sewenang-wenang), berbagai bentuk perlawanan dan kritik terhadap pemerintahan demokratik, dan sebagainya. Dalam berfungsinya suatu tata (tertib) hukum atau demokrasi tidak hanya terletak landasan pemahaman teoritikal pada umumnya, modalitas dari hal berfungsinya ini sangat bergantung pada nuansa-nuansa dalam pemahaman demikian. Sebuah tata hukum bukanlah suatugejala kebetulan atau sewenang-wenang. Ia kurang lebih menyatakan hubungan-hubungan yang niscaya antara keyakinan-keyakinan (inzichten) tertentu. Hukum menghendaki stabilitas dan keadilan, dan dalam suatu tata hukum penetapan tujuan demikian menjadi konkret; hal itu berlaku juga untuk suatu demokrasi: di dalamnya ia berkaitan dengan perwujudan suatu masyarakat yang bebas, yang didalamnya orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara yang mandiri. Apa artinya itu ? Dengan cara bagaimana suatu demokrasi dapat dilegitimasi ? Atas dasar apa ia dapat (atau boleh) melakukan perlawanan terhadap pelanggaran pada landasannya ? Persoalan-persoalan (praktikal) aktual yang demikian hanya dapat ditangani berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, filsafat hukum mutlak diperlukan.[5]

E.                   Penutup
Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari  hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Filsafat hukum mengajak berfikir kritis dan radikal dalam menyikapi masalah, atau dalam artian memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang pengadil (hakim) misalnya, ia hanya menjadi ”corong undang-undang” belaka. Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridis, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, contoh kasus jika ada masalah-masalah yang melampaui kemampuan berpikir manusia, maka filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi.
Kemudian untuk waktu yang lama, dalam sejarah filsafat hukum, orang berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi, yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan tentang keterikatan denfan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan. Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki.
Filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS Tahun 1966, kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai penggangti Undang-Undang No.10 Tahun 2004, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya hal ini telah sesuai dengan bunyi kalimat kunci.
Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.[6]














[1] B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm. 5.
[2] Ibid., hlm. 8-9.
[3] Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, Cet. III, 2012, hlm.4-6.
[4] Op.Cit., hlm. 68- 69. Selanjutnya silahkan membaca halaman 69 -90.
[5] Ibid., hlm.65-68.
[6] http: // nuragungsugiarto.blogspot.com / 2012 / 02 / peran – filsafat - hukum – dalam pembentukan.html., di unduh pada tanggal 3 Januari 2014.

1 comment:

  1. pertanyaan:
    apakah pendapat hukum dapat langsung dikategorikan sebagai sebagai eori hukum? jelaskan dan berikan dasar hukumnya

    ReplyDelete